Sebagai developer yang sudah terbiasa dengan Java, Kotlin, dan Swift, kamu mungkin sudah sangat akrab dengan XML layout di Android dan Storyboard di iOS. Tapi ketika harus membangun aplikasi lintas platform, muncul pertanyaan besar: Haruskah saya belajar Flutter? Jawabannya: ya, jika kamu ingin efisiensi, modularitas, dan satu codebase untuk dua platform utama.
Blog ini adalah roadmap belajar Flutter yang dirancang khusus untuk kamu yang berasal dari dunia native. Kita akan transisi secara bertahap, tanpa membuang keahlian yang sudah kamu miliki.
🧠 Tahap 1: Memahami Paradigma UI Baru
Flutter menggunakan pendekatan declarative UI berbasis Widget Tree. Ini mirip dengan View Hierarchy di Android atau Scene Graph di iOS.
Container
=View
Text
=TextView
/UILabel
Column
=LinearLayout
(vertical)Row
=LinearLayout
(horizontal)Stack
=FrameLayout
/ZStack
Mulailah dengan membangun layout sederhana menggunakan Scaffold
, AppBar
, dan BottomNavigationBar
. Anggap saja ini seperti membuat Activity
atau ViewController
.
📐 Tahap 2: Layout & Responsivitas
Kalau kamu terbiasa dengan match_parent
, wrap_content
, dan AutoLayout
, Flutter punya padanannya:
- Gunakan
Expanded
,Flexible
, danSizedBox
untuk kontrol ukuran. MediaQuery
danLayoutBuilder
membantu membuat UI yang adaptif.- Hindari dulu animasi atau gesture kompleks—fokus pada layout yang familiar.
Tips: Buat layout nested seperti XML-style agar transisi terasa lebih natural.
🔄 Tahap 3: Navigasi & Lifecycle
Navigasi di Flutter menggunakan Navigator.push()
dan pop()
, mirip dengan Intent
di Android atau segue
di iOS.
Lifecycle-nya juga punya padanan:
initState()
=onCreate()
/viewDidLoad()
dispose()
=onDestroy()
/deinit
didChangeDependencies()
= miriponResume()
atauviewWillAppear()
Dokumentasikan perbandingan lifecycle ini untuk referensi pribadi—sangat membantu saat debugging.
🔥 Tahap 4: Integrasi Firebase & Plugin
Flutter punya ekosistem plugin yang matang, terutama untuk Firebase:
firebase_core
,firebase_auth
,cloud_firestore
,firebase_analytics
- Setup-nya mirip dengan
build.gradle
danInfo.plist
, tapi lewatpubspec.yaml
- Modularisasi setup agar bisa reuse di proyek lain
Tips: Bandingkan setup Firebase di Flutter vs native untuk insight tambahan.
🧮 Tahap 5: State Management Bertahap
Mulai dari yang paling sederhana:
setState()
→ cocok untuk state lokalProvider
→ untuk state global yang ringanRiverpod
atauBloc
→ untuk aplikasi kompleks dan scalable
Jangan langsung lompat ke Bloc
atau Redux
—biar nggak over-engineered di awal.
🧱 Tahap 6: Modularisasi & Struktur Proyek
Karena kamu suka arsitektur modular, Flutter bisa disusun seperti ini:
Kode
lib/
├── core/
├── shared/
├── features/
│ ├── auth/
│ ├── dashboard/
│ └── settings/
Gunakan pubspec.yaml
seperti kamu pakai libs.versions.toml
di Gradle. Buat komponen reusable seperti CustomButton
, AppTextField
, dll.
🔌 Tahap 7: Native Bridge & Optimasi
Kalau kamu butuh akses ke fitur native (sensor, BLE, dll), gunakan Platform Channels:
- Flutter → Kotlin/Swift → native API
- Bisa modularisasi channel agar tetap maintainable
Optimasi ukuran APK/IPA:
flutter build apk --split-per-abi
- Deferred loading untuk fitur jarang dipakai
- Kompres asset dan gunakan tree-shaking
🎯 Kesimpulan: Flutter Bukan Pengganti, Tapi Pelengkap
Flutter bukan berarti meninggalkan Java, Kotlin, atau Swift. Justru, kamu bisa memanfaatkan semua keahlian native untuk membangun aplikasi lintas platform yang efisien dan scalable. Dengan satu codebase, kamu bisa hemat waktu, biaya, dan tenaga—tanpa mengorbankan kualitas.
Kediri, 8 Sep 2025